Wednesday, August 30, 2006

Kebersihan dan Manajemen Persampahan

Pernah lihat gundukan sampah yang menjijikkan di jalan-jalan kota Bandung pertengahan tahun ini? Insya Allah pemandangan demikian takkan terjadi di Jepang. Kebersihan adalah bagian dari kultur dan bagian dari obsesi masyarakat Jepang. Jangan kata lagi sampah, seorang teman Jepang saya di Tokyo cerita kalau dia gak berani mandi dan ke wastafel, dan sulit tidur gara-gara di wastafel-nya ada kecoa mati! gitu doang. Mungkin kalau ke Indo dia bisa 'nightmare' terus karena ketemu kecoa dimana-mana.
Ajaibnya, di Kyoto juga tak diketemukan nyamuk dan lalat sebijipun. Padahal disini sedang summer (natsu). Kenapa ya?
Yang ajaib berikutnya adalah manajemen persampahan di sini. Dari segi jumlah penduduk Jepang cukup dahsyat dengan nyaris 130 jt tinggal di empat pulau besar yang jauh lebih sempit dari Indonesia. Tapi kenapa negeri ini bersih abis? jauh lebih bersih dari Amrik atau Inggris? Ternyata manajemen persampahannya yang mantap. Setiap orang bertanggungjawab atas sampahnya masing-masing. So watch out your rubbish and dump them properly ! Sampah dibagi atas burnable dan non burnable, lalu ada sampah cans, bottle non cans/ plastik boo, dan lain-lain. Sampah elektronik lain lagi. Bisa mahal kalau buang TV apalagi mobil. Hampir di semua restoran publik, para pengunjung yg makan mesti mengembalikan dan membersihkan sendiri trash-nya. Sampah rumah tangga juga. Apalagi di tempat-tempat fasilitas pemerintah. Kalau gak disediakan tempat sampah berarti you're responsible dan mesti tanggung jawab untuk membawa sampah tersebut. Kalau gak, anda berarti bukan good man...

Onegai shimasu dan Onegai simbak

Ini satu guyonan ala Indonesia, bagaimana bahasa sering menjadi olok-olokkan ketika dibentukan dengan bahasa yang lain. Contoh, kata-kata 'onegai shimasu' dalam bahasa Jepang berarti 'tolong' atau 'please' (bisa juga menggunakan kata 'kudasai'.) Seorang teman Indonesia di Uji Kampus mengatakan bahwa 'onegai shimasu' yang dibaca 'onegai simas' tak bisa digunakan untuk bicara dengan perempuan. Kenapa? tanya saya serius. Karena kalau kita bicara dengan perempuan bahasa yang lebih tepat adalah : onegai shimbak...
walah-walah, ini mah Javanese bukannya Japanese...

satu lagi yang menarik, bagaimana ada sedikit kesamaan (pengaruh) antara bahasa Arab dengan bahasa Jepang. Contoh, bahasa Jepang untuk 'kamu' adalah 'anata' sedangkan bahasa Arab untuk kamu adalah 'anta' atau 'antum' untuk jamak dan 'anti' untuk perempuan...
how come?
itulah misteri bahasa

Saturday, August 12, 2006

Daripada di Indonesia digaji tujuh ratus ribu!

Ini satu sisi kelam wajah dunia pendidikan di Indonesia. Salah seorang doctoral student yang saya temui di Kyoto Daigaku, dia mendapat beasiswa Monbusho sejak S-2 di Kyoto Univ dan seorang CPNS di satu PTN di Indonesia, mengaku bahwa dia tinggal dan studi bukannya karena senang. "Habis gak ada pilihan lain Mas!" "Kalau saya balik ke Indonesia terus bekerja di kampus sebagai CPNS saya cuma digaji Rp 700 rb, mana tahan Mas! Jadi saya gak ada pilhan lain, mendingan saya di Kyoto sebagai mahasiswa dengan beasiswa yang 'agak lumayan'. Dan teman saya ini tak terlalu salah. Bisa dibayangkan, seorang mahasiswa S3 berstatus CPNS saja masih khawatir dengan gaji di Indo, bagaimana pula dengan guru SD?
walhasil, banyaknya terjadi fenomena brain-drain, lulusan luar negeri yang enggan kembali ke Indo -bukan karena tak cinta tapi karena tak tahu mau bekerja dimana- lalu memilih bekerja di luar negeri dengan memanfaatkan keahliannya yang relatively lebih dihargai di LN suatu pilihan yang sulit tapi juga tak terlalu salah.
Maka, mari tinjau kembali pepatah : hujan emas di negeri orang lebih baik hujan batu di negeri sendiri...
karena, sekarang ini abad borderless...so orang berpikir dimana saja dia tinggal di dunia sama saja, sama-sama bumi Allah SWT and dia tetap well-connected to Indonesia...
CSEAS, 12 August 2006

Sunday, August 06, 2006

Silent Community

Masyarakat Jepang, khususnya yang saya lihat di Kyoto, Tokyo dan Mito tampaknya amat menyukai ketenangan. Coba saja lihat di jalan-jalan, tak banyak orang nongkrong, berkeliaran, ataupun ngobrol. Semua sibuk dengan dirinya masing-masing. Di kereta api misalnya, alih-alih ngobrol dengan sesama penumpang, mereka lebih disibukkan dengan membaca buku, bermain keitai (handphone) entah nge-email or SMS ataupun tidur. Yang masih kelihatan rame cuma anak sekolah. Biasanya anak2 sekolah perempuan suka jalan bareng-bareng dan ngobrol kiri kanan. Ajaibnya, ketika masuk gerbong kereta mereka jadi senyap. Sibuk dengan dirinya sendiri-sendiri. Kalau ada yang berisik biasanya orang asing (gaijin). Itu juga yang saya lihat di jalur Keihan, Kowata - Demachinayagi. Satu ketika masuklah empat orang berwajah dan berbahasa Arab. Mereka masuk dengan berisik lalu dengan santainya satu orang tidur-tiduran/ berbaring di gerbong yang rada sepi. Buat standar orang Jepang kelakuan tersebut gak pantas. Sedihnya, keempat pemuda tersebut berwajah dan berbahasa Arab yang simply associated as muslim.
Anyway, ketenangan ini juga tampak dari pilihan cara ber-handphone orang Jepang. Hampir selalu keitai mereka di set dalam format silent dan vibrator. Jarang ada ring tone yang macam-macam. Mereka juga gak biasa terima telpon di dalam kereta atau bus. Bandingkan dengan Indonesia...

Friday, August 04, 2006

Shalat Jum'at di Kyoto

Ternyata Kyoto punya masjid juga. Tapi jangan bayangkan masjid disini seperti di Indonesia yang benar2 berbentuk masjid dengan kubah atau tower-nya. Masjid Kyoto sama seperti rumah atau ruko biasa. Terdiri atas dua lantai yaitu lantai satu dan lantai basement. Di lantai satu ada kantor/ sekretariat Kyoto Muslim Association berikut warung-nya. Sementara di lantai bawah untuk masjid. Pokoke, dari luar gak kayak masjid deh. Jalan di depan masjid pun cuma cukup untuk satu mobil. Tapi gak ngaruh kok, wong jama'ahnya kebanyakan mahasiswa Kyoto Univ yang kebanyakan kemana-mana naik sepeda (termasuk saya). Menariknya, di warung lantai satu dijual banyak barang2 dari Indonesia seperti indomie, sambal ABC, kecap ABC, plus daging halal. Kenapa begitu? karena jama'ahnya kebanyakan memang orang Indonesia. Maka, ketika shalat Jum'at bahasa yang dominan digunakan ya bahasa Indonesia disamping bahasa Jawa dan Sunda. Tapi khotbahnya pake bahasa Inggris lho. Karena disamping jama'ah Indonesia juga ada jama'ah dari Timur Tengah dan Asia selain Indonesia. Dari Jepang? ada beberapa. Ibu penjaga warung plus sekretariat adalah muslimah Jepang yang ramah. Dia pake jilbab dan bisa berbahasa Inggris (Eigo).
Alamat masjid ini : Riverside Kojinguchi 1F & BFMiyagakicho 92, Kawaramachi-Kojinguchi Agaru-Higashi-Iru, Kamigyo-ku Kyoto 606-0853

memang, masjid ini kecil dan gak berasa sebagai masjid. But at least ini pertanda bahwa Islam dan muslim exist di Japanese cultural city ini. Moreover, disini kami bisa shalat Jum'at and silaturrahim dengan sesama muslim...
Muslim watashiwa !

CSEAS Kyoto 5 August 2006

Thursday, August 03, 2006

Kalau diundang Makan Berarti Bayar Sendiri


Di Jepang ada kultur yang menarik. Sebenarnya saya sudah tahu sejak lama tapi baru mengalami saat ini. Pengalaman pertama saya ke Jepang tahun 2005 (Kota Mito Ibaraki prefecture) tak banyak kisah undang mengundang makan (tabemasu). Barulah pada kedatangan kedua tahun 2006 ini (kali ini ke Kyoto, Kyoto prefecture), saya merasakannya. Beberapa kali ada undangan ataupun ajakan makan siang ataupun makan malam, dan kita mesti bayar sendiri makanan yang kita makan. Jadi, istilah 'traktir' tidak terlalu populer disini. You're responsible for your own cost. Kalau makanannya banyak (buffet) dan dihidangkan di meja yang sama, maka jumlah total pengeluaran dibagi rata semua orang yang makan. So, please beware with your own money. Memang rada serba salah, kalau nggak ikut undangan makan khawatir dianggap gak sopan. Tapi kalaupun ikut undangan, keinginan untuk ngirit-pun jadi sulit. Yang pernah saya alami ketika studi di Amrik tahun 2002 - 2003, disana kalau judulnya undangan makan biasanya si pengundang responsible untuk cost-nya. Kecuali kalau sejak awal disebut potluck that means anybody should bring their own food or beverages. Apalagi di Indonesia, kalau kita ngundang makan terus orang yang kita undang kita minta bayar sendiri...tunggulah kutukan dari masyarakat ! he he he
CSEAS Kyoto 4 August 2006

Kultur ber-sepeda ria di Jepang


Siapa bilang orang Jepang mobil mania? ternyata kita di'kibuli' orang Jepang selama ini. Hampir 80% (data berdasarkan feeling) mobil di Indonesia berasal dari Jepang, ternyata di Jepang sendiri orang lebih senang naik sepeda (minimal yang saya lihat di Kyoto city) atau naik kereta (either subway or a regular one). Tapi memang dari segi lalu lintas dan kontur alamnya amat mendukung. Enak sekali naik sepeda di Jepang, karena (hampir) semuanya juga naik sepeda. Therefore, please get rid off your gengsi and join the bicycle community !