Sunday, September 10, 2006

Please Switch off your Cell Phone

Menggunakan cellphone di Jepang cukup strict batasannya. Disini orang tak leluasa membeli handphone kecuali dia memiliki ID card dan memiliki permanent address. Ada UU per April 2006 yang mewajibkan setiap pengguna handphone supaya te-register di operator-nya. Apakah vodafone, AU-Kddi, or NTT do-co-mo. Tapi gak sekedar itu, menggunakan handphone-pun tak bebas. Dilarang menggunakan handphone ketika nyetir (mungkin ini sudah biasa dimana-mana). Tapi yang agak langka adalah dilarang menerima dan mengkontak orang via handphone di public transportation, utamanya di densha (train) ataupun chikatetsu (subway) or basu (bas). Peraturan utama adalah mode harus di set jadi off atau minimal silent. Bahkan kalau di dekat priority seats (untuk children, oba-san, disable people, elderly, dll) harus dimatikan total. Saya lihat betul, bagaimana alergi-nya orang Jepang dengan orang yang berbicara via handphone dalam kereta. Dalam perjalanan densha dari Osaka ke Nara, seorang pria Jepang tua menerima handphone dan berbicara sekian menit. Seorang Ibu yang duduk di sebelahnya mendadak berdiri dan pindah ke kursi lain yang jauh dari pria tersebut. Lalu, ia pun meneruskan bacaannya. Kirim SMS? Oke, tapi dalam kasus yang lain juga gak OK. Ada juga orang yang marah kalau orang berkirim SMS dalam kereta...

Tuesday, September 05, 2006

CLEAN UP YOUR TRASH !

Ini manajemen kebersamaan dalam makan namanya. Di cafe medical faculty di Kyoto University, setiap habis makan sang pelanggan harus ikut mencuci piring, gelas, mangkok, membuang sumpit dan bekas tissue yang digunakannya di tempat tersendiri. Tidak harus mencuci sampai bersih sih, tapi at least bagian2 sisa makan dibersihkan dengan air yang telah disediakan baru dicemplungkan ke dalam bak air dimana telah menunggu sang pencuci beneran.

Tapi tidak semua cafe seperti ini, di cafe co-op Kyoto Dai di Yoshida Campus dan di cafe co-op Uji campus kita hanya mengembalikan tray kita ke rak berjalan yang telah disediakan setelah sebelumnya membuang hashi (sumpit) dan kertas tissue. Menarik untuk diterapkan di Indonesia, membuat orang lebih egaliter namun resikonya ada lowongan pekerjaan semakin berkurang...
wallahua'lam

Bekerja Serius Kendati Tampak Sepele

Satu hal yang patut dicontoh dari orang Jepang adalah keseriusannya dalam bekerja. Walaupun pekerjaannya nampak sepele namun tetap saja dia serius dan terkesan menikmati pekerjaannya. Tukang sampah di asrama saya sedari pagi sudah sibuk mengangkut sampah dengan serius, ibu yg jaga asrama juga selalu berkutat di balik laptopnya, ibu yang jaga masjid (muslimah Jepang) juga selalu nampak sibuk dengan laptop, telpon, dan melayani pembeli makanan di warung masjid. Di kereta, masinis nampak serius dan sibuk. Penjaga loket serius. Sopir bus juga serius. Mbak-mbak yang jaga museum juga para volunteernya juga tampak serius. Mereka selalu sigap menjawab pertanyaan pengunjung, tamu, pelanggan apakah dengan irrashaimase, onegaishimasu dan selalu menutup dengan domo arigato gozaimashita. Salah satu tanda keseriusan juga adalah pada busana yang dipakai. Hampir semua pekerja mempunyai uniform sendiri. Di museum gempa Kobe mbak-mbaknya pakai uniform, di Kyoto Disaster Prevention Center malah menggunakan topi plus syal kayak pramugari/ pemandu wisata. Niat banget deh !

Monday, September 04, 2006

CLEAN UP YOUR TRASH !

Ini manajemen kebersamaan dalam makan namanya. Di cafe medical faculty di Kyoto University, setiap habis makan sang pelanggan harus ikut mencuci piring, gelas, mangkok, membuang sumpit dan bekas tissue yang digunakannya di tempat tersendiri. Tidak harus mencuci sampai bersih sih, tapi at least bagian2 sisa makan dibersihkan dengan air yang telah disediakan baru dicemplungkan ke dalam bak air dimana telah menunggu sang pencuci beneran.

Tapi tidak semua cafe seperti ini, di cafe co-op Kyoto Dai di Yoshida Campus dan di cafe co-op Uji campus kita hanya mengembalikan tray kita ke rak berjalan yang telah disediakan setelah sebelumnya membuang hashi (sumpit) dan kertas tissue. Menarik untuk diterapkan di Indonesia, membuat orang lebih egaliter namun resikonya ada lowongan pekerjaan semakin berkurang...
wallahua'lam

Sunday, September 03, 2006

Ketika Agama Cuma Jadi Mainan

Agama di Jepang cenderung cuma jadi mainan dan tak pernah dianggap sesuatu yang serius. Jangan kata lagi untuk menyembah Tuhan yang satu, mengakui adanya Tuhan juga masih jadi persoalan disini. Ada yang percaya Tuhan tapi tak punya agama. Ada yang punya agama tapi sekedar simbol. Banyak juga yang tak percaya Tuhan sekaligus tak punya agama.
Maka, ketika melihat wanita Jepang menggunakan kalung salib, jangan dianggap dia seorang Christian. Ketika ia merayakan Christmas jangan dianggap dia Kristiani. Karena natalan disini lebih cenderung selebrasi kultural biasa. Biasanya masyarakat Jepang ketika lahir dan anak2 mengikuti ritual ala Shinto, ketika menikah cenderung ala Christian (pertimbangan ekonomis, karena nikah ala Shinto mahal), dan ketika meninggal memilih dikremasi ala Buddhist. So, orang bisa tidak punya agama bisa juga beragama banyak. Terserah.
Tak jelas juga apa mereka mengenal konsep dosa, surga ataupun neraka.
Tapi insya Allah tidak bisa digeneralisir juga. Ada juga orang Jepang yang beragama secara baik. Walaupun tidak mayoritas.